Riaupintar.com -- Kementerian Agama telah meluncurkan kurikulum berbasis Cinta (KBC) sebagai bagian dari upaya menyusun ulang orientasi pendidikan keagamaan di Indonesia pada 24 Juli 2025.
Kurikulum ini tidak hanya berfokus pada transfer ilmu, tetapi bertujuan menanamkan nilai-nilai cinta, kebersamaan, dan tanggung jawab ekologis sejak dini, mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Ketua Dewan Pendidikan Riau Prof Dr Junaidi memberikan pengarahan dan sosialisasi kepada seluruh Kepala Sekolah Madrasah se Pekanbaru yang berada di bawah Kemenag Kota, Rabu 29 Juli 2025, dengan tema “ Mewujudkan Cinta Dalam Ruh Pendidikan.”
Kegiatan di pusatkan di MAN 2 Pekanbaru jalan Diponegoro, yang di ikuti hampir 40 kepala sekolah madrasah. Kegiatan dibuka oleh oleh Kabid Penmad Kanwil Provinsi Riau Dr H Jisman, turut hadiri Kasi Penmad Kemenag Kota Pekanbaru Dr H Rialis M.Pd. Kepala MAN 2 Pekanbaru H Ghafardi S.Ag. M.Pd.I, ketua Komita MAN 2 Asscof Profesor Dr Nurfaisal.
Prof Dr Junaidi yang juga Rektor Unilak menjelaskan definisi kurikulum berbasis Cinta. Kurikulum berbasis Cinta dapat dikaitkan dengan beberapa teori kurikulum yang berfokus pada perkembangan sosial, emosional, dan moral murid.
Sementara tujuan kurikulum berbasis Cinta, secara keseluruhan kurikulum berbasis Cinta fokus pada pengembangan karakter, pembelajaran berbasis pengalaman, serta perhatian mendalam pada aspek sosial dan emosional.
Tujuannya melahirkan insan yang humanis, nasionalis, naturalis, toleran, dan berbasis cinta. Kurikulum ini adalah jiwa dari seluruh kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler dalam Kurikulum Nasional.
Khusus di madrasah, tujuannya beririsan dengan mata pelajaran kekhasan seperti Al-Qur'an Hadis, Akidah Akhlak, Fikih, dan SKI, di mana nilainilai cinta akan diperkuat. Pada mata pelajaran umum, nilai-nilai cinta akan diimplementasikan melalui pembiasaan dan penguatan bagi guru pengampu.
Kita tau Indonesia memiliki keragaman sosial masyarakat kaya akan keragaman, budaya, agama, dan etnis, yang merupakan potensi besar untuk kemajuan dan harmoni. Namun, keragaman ini juga bisa memicu konflik sosial, agama, politik, hingga kesenjangan.
Faktor kebudayaan merupakan bagian yang penting dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan bahwa individu lahir tidak berbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan lain sebagainya.
Semua itu dapat diperoleh individu melalui interaksi dengan lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar, dan tentu saja sekolah/lembaga Pendidikan, sebut Prof Junaidi.
“Madrasah telah sejak lama hadir di Indonesia, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, maka kita harus pertahankan madrasah ini. Saat rapat di DPR RI, Saya menolak untuk pengahapusan kata Madrasah dalam regulasi sistem pendidikan di Indonesia. Madrasah menjadi bagian penting dalam sistem Pendidikan di Indonesia maka harus dipertahankan dan diperjuangkan karena bagian upaya untuk peningkatan kualitas pendidikan. Dan ini dapat dilihat sekolah di bawah Kemenag mampu menjadi sekolah unggulan sekolah terbaik di Indonesia, seperti MAN 2 Pekanbaru.” Ujar Prof Junaidi. (yok)
Read more info "Ketua Dewan Pendidikan Riau Dukung Program Kurikulum Berbasis Cinta di Madrasah" on the next page :